Angkat Isu Perempuan di Turnamen Dota 2

Senin,24 Februari 2025 - 14:33:02 WIB
Dibaca: 25 kali

Aditya Danumaya, S.I.Kom., M.I.Kom. (Foto: Bryan)

Isu perempuan nampaknya masih menjadi topik menarik di kalangan masyarakat. Seolah tidak ada habisnya, isu ini selalu mendapatkan tempat dan menjadi perhatian khusus di masyarakat termasuk Aditya Danumaya, salah satu wisudawan dari Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya.

Perempuan saat ini telah menduduki berbagai posisi pekerjaan atau aktivitas yang biasanya selalu diisi oleh laki-laki, salah satunya presenter pada e-sport Defense of the Ancients (Dota) 2 yang biasa disebut sebagai "host". Pada umumnya, game ketangkasan seperti Dota dianggap sebagai aktifitas laki-laki karena keterbatasan teknologi yang dinilai tidak dirancang untuk perempuan.

"Memasuki era digital seperti saat ini seharusnya pemahaman mengenai kesetaraan gender semakin berkembang, tetapi pada dunia e-sports, saya melihat masih adanya celah diskriminasi yang ditujukan pada perempuan," ujar Adit.

Menurutnya, ruang game online memang sangat didominasi oleh kaum laki-laki dan masih sedikit perempuan yang terlibat di dalamnya. Dalam tesisnya yang berjudul Diskriminasi Perempuan pada Profesi Host e-Sport Dota 2, Adit untuk mencoba melihat lebih dalam bagaimana kedudukan perempuan pada ajang e-sport bergengsi dunia The Internasional yang menyelenggarakan turnamen Dota 2 pada tahun 2024.

"Dari 36 peserta di ajang bergengsi dunia ini hanya ada 5 (lima) peserta perempuan. Fenomena ini juga terlihat pada turnamen-turnamen yang telah diselenggarakan sebelumnya, di sini saya melihat adanya tanda-tanda diskriminasi terhadap perempuan dalam hal pekerjaan talent dari sisi organisasi," ujar pria penggemar bakso ini.

Seperti diikutip dari esport.com, kritik seksis dan diskriminasi sering diterima oleh talent perempuan yang baru bergabung di ajang yang rutin digelar tiap tahun ini. Tidak hanya host prefesional, streamer wanita pun mendapat perlakuan yang berbeda dari penontonnya dari streamer laki-laki. Fenomena tersebut menjelaskan adanya komunitas khususnya Dota 2 yang melakukan diskriminasi maupun hatespeech pada jenis kelamin tertentu pada profesi ini.

"Dalam penelitian ini, saya menggunakan metode menggunakan metode netnografi dengan tujuan untuk memahami budaya diskriminasi yang dilakukan di media sosial," tutur Adit.

Adit menuturkan hasil dari penelitian yang telah dilakukannya menunjukkan bahwa Pada dunia e-sport khususnya Dota 2, perempuan mengalami diskirminasi melalui organisasi penyelenggara maupun dari sisi khalayak.

"Diskriminasi dari organisasi dilakukan dalam bentuk struktur kapitalis menciptakan ketimpangan gender melalui pembagian kerja, talent perempuan dibatasi dan ditempatkan pada pertandingan yang kurang krusial, dan kontrol terhadap representasi perempuan, serta penggunaan pakaian dan pemilihan talent untuk kepentingan profit untuk mendapatkan respon khalayak lebih banyak sedangkan diskriminasi yang dilakukan oleh penonton pada live chat dilakukan dalam bentuk pelecehan seksual digital, bodyshaming, dan hate speech di mana ini adalah cara untuk meredam suara perempuan dalam ruang e-sport," tutur Adit yang juga berprofesi sebagai gitaris ini.

Tindakan ini bertujuan untuk memperkuat dominasi pria dengan menciptakan lingkungan yang membuat perempuan enggan berbicara atau tampil sebagai profesional. Meskipun mendapat berbagai macam diskriminasi dari penonton. Perempuan tetap menunjukkan ke profesionalitasnya sebagai talent e-sport Dota 2 digambarkan dengan komentar positif oleh penonton.

"Usaha perempuan untuk mendobrak kelas yang berkuasa, yaitu organisasi penyelenggara merupakan bentuk dukungan dan sifat profesionalisme yang dimilikinya," pungkasnya. (riz)


Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya